Foto: istimewa | Tampak Ir. Hengky Hizkia Jokhu, ketua LSM Papua Bangkit, di Sentani beberapa waktu lalu.
Sentani, jurnalmamberamofoja.com — Pengelolaan dana kampung di Papua kembali mendapat sorotan. Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Papua, Ir. Hengky H. Jokhu, mendesak agar mekanisme pengawasan dana kampung diperketat, sehingga penggunaannya benar-benar berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar kegiatan seremonial yang bersifat konsumtif.
Dalam keterangannya di Jayapura, Selasa (28/10), Hengky menilai bahwa dana kampung sejatinya adalah instrumen penting untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam merencanakan pembangunan yang berakar dari kebutuhan lokal.
“Dana kampung itu memberikan ruang bagi masyarakat lewat perangkat kampung untuk merancang sesuatu yang bermanfaat dan jangka panjang. Tapi kalau disalahgunakan, dampaknya langsung terasa ke rakyat kecil,” ujarnya tegas.
Ia mengingatkan bahwa arah pembangunan kampung seharusnya menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Hengky mencontohkan, dana kampung dapat diarahkan untuk membiayai program pendidikan dan kesehatan bagi generasi muda.
“Kita harus siapkan anak-anak sejak SMP, kesehatannya dijaga, pendidikannya diperhatikan. Dana seperti ini seharusnya digunakan untuk menyiapkan generasi dokter, insinyur, perwira, atau pilot bukan untuk pesta atau kegiatan konsumtif,” jelasnya.
Hengky secara keras menentang penggunaan dana kampung untuk kepentingan seremonial atau adat yang tidak produktif.
“Kalau dana negara dipakai untuk pesta adat, bayar mas kawin, atau bakar babi, itu bentuk penyalahgunaan. Itu kejahatan terhadap rakyat karena uangnya seharusnya untuk kesejahteraan bersama,” tegasnya.
Hengky tambahkan, pembangunan infrastruktur seyogianya menjadi tanggung jawab dinas teknis seperti Dinas PUPR, bukan dibebankan pada anggaran dana kampung. Menurutnya, dana kampung justru harus diarahkan untuk penguatan ekonomi berbasis kearifan lokal.
“Desa harus punya ciri khas dan produk unggulan. Misalnya satu desa satu produk one village one product. Kalau desa itu penghasil kopi, orang harus tahu kopi itu berasal dari sana. Dengan begitu, dana kampung membentuk basis ekonomi lokal yang kuat,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Hengky menyoroti masih adanya oknum kepala kampung yang menyalahgunakan dana untuk kepentingan pribadi. Ia meminta aparat penegak hukum seperti kejaksaan, KPK, dan kepolisian untuk bertindak tegas terhadap para pelaku.
“Kalau dana kampung dipakai untuk mabuk-mabukan, kawin lagi, atau hura-hura, itu kejahatan. Harus ditangkap. Jangan dibiarkan karena itu merusak kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah,” tegasnya lagi.
Menurut Hengky, esensi dari Otonomi Khusus (Otsus) Papua sebenarnya berfokus pada pemberdayaan masyarakat di tingkat kampung melalui empat pilar utama: afirmasi, proteksi, pemberdayaan (empowering), dan partisipasi.
“Afirmasi dan partisipasi itu ada di kampung. Itulah ruang bagi masyarakat untuk berkembang dengan kearifan lokal mereka sendiri. Tapi kalau dana diselewengkan, makna Otsus itu hilang,” ujarnya.
Ia juga menilai, besaran dana kampung yang diterima Papua setiap tahun sudah sangat besar dan semestinya mampu menyejahterakan masyarakat bila dikelola dengan benar.
“Kalau ada yang bilang dananya kecil, itu tidak benar. Dana kampung di Papua itu miliaran rupiah, sementara jumlah kepala keluarganya rata-rata hanya 50 sampai 100. Jadi yang kurang itu bukan dananya, tapi pengawasan dan integritasnya,” jelas Hengky.
Menutup pernyataannya, ia menyerukan agar semua pihak mulai dari pemerintah daerah, aparat hukum, hingga masyarakat bersama-sama menjaga transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana kampung.
“Mari kita bersihkan penyimpangan agar Otsus jilid II dengan PP Nomor 106 dan 107 benar-benar mendorong kampung yang mandiri, damai, dan sejahtera,” pungkasnya.
Laporan: M. Irfan







