Foto: Irfan | Tampak Ir. Hengky Hiskia Jokhu, ketua LSM Papua Bangkit.

Sentani, jurnalmamberamofoja.com — Program dana desa di Tanah Papua diharapkan tidak lagi sekadar menjadi instrumen administratif, tetapi menjadi motor utama pembangunan berkelanjutan yang menyentuh langsung kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP).
Hal ini disampaikan oleh Ir. Hengky Hiskia Jokhu, Ketua LSM Papua Bangkit, dalam refleksinya terkait arah kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II yang berlaku untuk periode 2022–2041.
Menurut Hengky, penggunaan dana desa seharusnya dioptimalkan dengan berlandaskan pada empat pilar utama Otsus, yakni Afirmasi, Proteksi, Partisipasi, dan Pemberdayaan. Empat pilar ini menjadi pondasi penting dalam mendorong kesejahteraan masyarakat Papua yang berkeadilan dan berkelanjutan.
“Dana desa harus disinergikan dengan program percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat Papua, khususnya OAP, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 106 dan 107 Tahun 2021 serta Perpres Nomor 24 Tahun 2023 tentang Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP),” ujar Hengky di Sentani, Senin (27/10).
Baca juga: “Hengky Jokhu: Pejabat Baru Harus Buktikan Kinerja, Bukan Sekadar Jabatan Seremonial”
Integrasi Ilmu, Teknologi, dan Kearifan Lokal
Hengky menekankan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis masyarakat yang berkelanjutan. Ia menyebut, setiap kampung perlu mampu merancang program kesejahteraan masyarakatnya dengan mengintegrasikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kearifan lokal/adat ke dalam konsep long term sustainable community development.
Menurutnya, keberhasilan program dana desa bergantung pada integritas dan kepekaan moral para pengelola dari tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga distrik.
“Birokrasi perencanaan harus memiliki kepekaan hati, kejujuran pikiran, dan ketulusan pengabdian. Tanpa itu, rakyat akan terus terjebak dalam kemiskinan multidimensi,” ungkapnya.

Kampung Harus Siap Hadapi Pasar Kerja Masa Depan
Lebih lanjut, Hengky memberikan contoh konkret tentang bagaimana dana desa dapat diarahkan sesuai potensi dan kebutuhan lokal.
Ia menyinggung Kampung Farbes di Sentani, yang letaknya berdekatan dengan Bandara Sentani. Menurutnya, pemerintah kampung harus berpikir jauh ke depan dalam menyiapkan SDM yang selaras dengan peluang kerja di sektor penerbangan dan pendukungnya.
“Dalam 20 tahun ke depan, kampung-kampung di sekitar Bandara Sentani harus mempersiapkan warganya menjadi pilot, pramugari, teknisi pesawat, atau tenaga ground handling. Itu bisa dirancang mulai sekarang melalui dana kampung,” jelas Hengky.
Ia menegaskan bahwa jika pemerintah daerah tidak mampu membaca kebutuhan pasar dan merancang program pengembangan SDM yang sesuai, maka sesungguhnya mereka sedang merencanakan kemiskinan absolut bagi rakyatnya sendiri.
“One Village One Product bukan sekadar slogan, tapi arah pembangunan yang konkret bila didukung dengan perencanaan jangka panjang dan kepekaan membaca peluang,” tutupnya.
Laporan: M. Irfan








