Foto: istimewa | Tampak Miki Wuka Mahasiswa ISBI ketika tampil kedepan proses pemindahan tapi kucir dan menerima ijazah begitu menarik perhatian, di Selasa (28/10).

Jayapura, jurnalmamberamofoja.com — Upacara wisuda Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua di aula kampus Waena, Selasa (28/10) menjadi peristiwa yang tak akan mudah dilupakan. Di antara barisan toga hitam yang seragam dan rapi, satu sosok tampil mencuri perhatian: Miki Wuka, mahasiswa asal pegunungan tengah Papua, melangkah mantap menuju panggung wisuda dengan mengenakan holim atau koteka, pakaian adat khas pria Papua yang sarat makna dan simbol kehormatan.
Suasana aula yang semula hening seketika berubah. Riuh tepuk tangan dan sorak kagum menggema ketika Miki disebut naik ke panggung. Dengan penuh keyakinan, ia menerima ijazah sarjana sambil menegakkan kepala, menunjukkan bahwa kebanggaan terhadap budaya tidak pernah bertentangan dengan pendidikan dan kemajuan.

“Ini bukan sekadar pakaian. Ini jati diri saya. Saya ingin tunjukkan bahwa orang Papua bisa maju tanpa meninggalkan budayanya,” ujar Miki dengan nada tegas dan mata berbinar usai acara wisuda.
Holim atau koteka yang dikenakan Miki bukan sekadar simbol. Terbuat dari buah labu hutan yang dikeringkan, pakaian adat dari wilayah Lapago dan Meepago itu melambangkan kejantanan, tanggung jawab, dan kehormatan seorang pria Papua. Namun sayangnya, di mata luar, koteka sering disalahartikan sebagai lambang keterbelakangan.
Melalui langkah beraninya, Miki berusaha menghapus stigma itu. Ia ingin menegaskan bahwa koteka bukan masa lalu, melainkan simbol martabat dan identitas budaya yang harus dihargai. “Orang luar boleh melihat ini sederhana, tapi bagi kami, ini kebanggaan. Ini cerita tentang siapa kami sebenarnya,” tambahnya.

Keberanian Miki mengenakan koteka dalam momen akademik resmi itu mendapat apresiasi luas, terutama dari para dosen ISBI Tanah Papua. Salah satu dosen seni rupa menilai tindakan Miki sebagai wujud nyata keberhasilan pendidikan berbasis budaya.
“Ini momentum penting. Ia tidak hanya lulus sebagai sarjana, tapi juga sebagai penjaga nilai-nilai budaya Papua. Inilah esensi pendidikan yang berakar pada kearifan lokal,” ujar sang dosen dengan penuh bangga.
Tidak hanya para dosen, rekan-rekan mahasiswa pun terinspirasi oleh langkahnya. Banyak di antara mereka berebut berfoto bersama Miki usai prosesi wisuda. “Bangga sekali lihat teman yang wisuda pakai koteka. Itu keren, unik, dan menginspirasi kami semua,” ujar seorang wisudawati dengan senyum kagum.

Bagi Miki, wisuda bukan sekadar akhir dari perjalanan akademik, melainkan awal dari tanggung jawab baru untuk menjaga dan menghidupkan budaya leluhur. Ia berharap kisahnya bisa membuka mata generasi muda Papua bahwa kemajuan dan kebudayaan tidak harus dipisahkan.
“Kita bisa berjalan di dua dunia dunia modern dan dunia adat selama kita tahu di mana akar kita berpijak,” ucapnya dengan penuh makna.
Di tengah gemuruh tepuk tangan dan rasa haru, sosok Miki Wuka berdiri tegak di atas panggung. Dengan koteka di tubuh dan ijazah di tangan, ia memahat sejarah kecil namun penting: bahwa pendidikan tertinggi sejati adalah ketika seseorang mampu meraih ilmu tanpa kehilangan jati diri budayanya.
Laporan: Sony Rumainum







