
Foto: Irfan | Ir. Hengky Hizkia Jokhu, ketua LSM Papua Bangkit
Sentani, jurnalmamberamofoja.com – Lima tahun sudah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat bergulir.
Namun, harapan besar yang dititipkan dalam kebijakan ini dinilai belum mampu mengangkat derajat hidup Orang Asli Papua (OAP) dari jerat kemiskinan.
Ketua LSM Papua Bangkit, Ir. Hengky Hiskia Jokhu, menegaskan bahwa hingga kini manfaat Inpres tersebut belum benar-benar dirasakan masyarakat Papua. Padahal, dokumen kebijakan itu mengandung lima kerangka besar: peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), transformasi ekonomi, pembangunan infrastruktur dasar, penguatan lingkungan hidup, dan reformasi birokrasi.
“Realitanya, orang asli Papua hingga hari ini masih menjadi kelompok termiskin di Indonesia. Enam provinsi di Tanah Papua tetap tercatat sebagai provinsi termiskin. Artinya, pembangunan tidak berjalan merata dan OAP belum menikmati hasilnya,” tegas Hengky saat ditemui di Sentani, Senin (29/9).
Hengky juga menyoroti dampak buruk pembangunan yang justru meninggalkan luka ekologis. Menurutnya, berbagai aktivitas ekstraktif masih marak tanpa kendali.
“Penambangan nikel di Raja Ampat, perampasan hutan adat di Papua Selatan, serta tambang emas ilegal di berbagai daerah hanya meninggalkan kerusakan. Sementara rakyat adat kehilangan tanah dan sumber penghidupan mereka. Janji pembangunan rendah karbon berbasis kearifan lokal hanya tinggal jargon politik,” ucapnya lantang.
Selain itu, agenda reformasi birokrasi yang digadang-gadang pemerintah pun dianggap gagal berjalan. Hengky menyebut praktik korupsi masih merajalela, bahkan seolah-olah dipelihara dalam sistem pemerintahan daerah.
Baca juga: RSUD Yowari Tersandera Sengketa Lahan, Layanan Publik Terancam
“Dari level gubernur, bupati, camat, hingga kepala kampung, korupsi seakan dilakukan secara berjamaah. Inilah akar mengapa rakyat Papua tetap dibiarkan miskin di atas tanah yang kaya,” ungkapnya.
Hengky juga mengingatkan bahwa Papua masih dibayangi dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tak kunjung terselesaikan sejak integrasi pada tahun 1963.
“Sejak saat itu hingga kini, rakyat Papua masih terus menjadi korban. Luka lama tidak pernah diobati, sementara penderitaan terus berulang,” tambahnya.
Meski pemerintah pusat telah mengeluarkan sejumlah regulasi lanjutan mulai dari UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, PP Nomor 106 dan 107 Tahun 2021, hingga Perpres Nomor 24 Tahun 2023 tentang Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) 2022–2041 Hengky tetap pesimis langkah itu membawa perubahan signifikan.
“Kalau pun ada kemajuan, mungkin hanya dalam hal korupsi, perampasan tanah adat, penambangan ilegal, dan kerusakan ekologi. Sementara nasib OAP sangat miris: mereka tetap hidup miskin di atas tanah yang sesungguhnya sangat kaya,” pungkasnya.
Laporan: M. Irfan