Foto: istimewa | Tampak Max Takimai, Anggota DPR Papua Tengah

Jakarta, jurnalmamberamofoja.com – Aksi pembakaran mahkota burung Cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua bersama aparat penegak hukum di Jayapura, Selasa (21/10), menuai kecaman keras dari berbagai kalangan.
Salah satunya datang dari anggota DPR Papua Tengah, Max Takimai, yang menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap martabat budaya orang asli Papua.
Dalam keterangannya kepada jurnalmamberamofoja.com di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Rabu (22/10), Max menegaskan bahwa mahkota burung Cenderawasih bukan sekadar atribut hiasan, tetapi memiliki makna sakral dan identitas kultural yang tinggi bagi masyarakat adat Papua.
Baca juga: BBKSDA Bakar Mahkota Cenderawasih, Yan Mandenas: Itu Penghinaan terhadap Identitas Orang Papua
“Mahkota Cenderawasih tidak bisa diperlakukan seperti barang sitaan biasa. Pembakaran itu sangat melukai hati masyarakat Papua, karena mahkota ini simbol kehormatan, diberikan hanya kepada tokoh adat, pemimpin, atau tamu kehormatan tertentu,” tegas Max.
Politisi asal Papua Tengah itu menilai BBKSDA telah bertindak tanpa mempertimbangkan nilai-nilai budaya lokal. Menurutnya, tindakan pemusnahan dengan cara membakar justru menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap simbol adat yang memiliki nilai spiritual dan sosial yang mendalam.
“Saya sangat kecewa. Ini bukan hanya persoalan hukum atau pelanggaran satwa dilindungi, tapi juga persoalan etika dan penghormatan terhadap budaya. Mahkota Cenderawasih itu bagian dari identitas orang Papua,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ketua Badan Kehormatan DPR Papua Tengah itu juga menyoroti pentingnya pelestarian satwa Cenderawasih di alam liar. Ia menegaskan bahwa upaya melestarikan burung endemik khas Papua tidak bisa dipisahkan dari pelestarian hutan dan habitat aslinya.
“Kalau memang ingin melindungi Cenderawasih, jangan hanya menindak masyarakat adat yang memakai simbol budayanya. Hentikan dulu penebangan liar yang merusak habitatnya. Lestarikan hutan, tanam kembali pohon sagu, dan lakukan reboisasi agar burung-burung ini tetap hidup di alamnya,” tutur Max.
Ia berharap pemerintah pusat maupun daerah dapat menempuh langkah-langkah yang lebih bijak dan menghormati nilai-nilai adat Papua dalam setiap kebijakan konservasi maupun penegakan hukum lingkungan.
“Jangan sampai kebijakan yang dibuat atas nama pelestarian justru melukai budaya masyarakat yang sudah hidup berdampingan dengan alam selama berabad-abad,” pungkasnya.
Laporan: Roy Hamadi







