
Foto: istimewa | Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua
Jayapura, Jurnal Mamberamo Foja – Sejarah Mahkamah Konstitusi (MK) membuktikan perannya sebagai benteng terakhir keadilan pemilu di Indonesia. Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 menegaskan prinsip universal hukum: tidak ada pihak boleh diuntungkan dari pelanggaran yang dilakukannya sendiri, dan tidak ada pihak boleh dirugikan oleh pelanggaran orang lain. Prinsip inilah yang menjadi landasan dalam menangani sengketa Pemungutan Suara Ulang (PSU) Papua.
Dalam konteks PSU ini, MK tidak hanya diminta menilai angka hasil penghitungan suara, tetapi juga menimbang apakah ada pasangan calon yang mendapatkan keuntungan dari kecurangan. Jika terbukti, MK berwenang membatalkan kemenangan meski selisih suara menunjukkan keunggulan.
Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Saldi Isra, menegaskan bahwa pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) bisa melampaui batas selisih suara sebagaimana diatur undang-undang. Hal ini relevan dengan temuan tim BTM–CK yang menunjukkan perbedaan mencolok antara dokumen C-1 Plano dan D-1 rekapitulasi KPU. Perbedaan tersebut diduga akibat manipulasi dan intervensi aparat, yang jika terbukti, masuk kategori pelanggaran TSM.
Baca juga: Haris Yocku: Dua Paslon Adalah Putra Terbaik Papua, Mari Hormati Hasil KPU
Pandangan serupa disampaikan pakar hukum tata negara, Dr. Refly Harun. Menurutnya, MK harus mengedepankan keadilan substantif. Fokus pada ambang batas suara semata justru berpotensi mempersempit kewenangan Mahkamah dalam perkara yang berdampak besar terhadap demokrasi. Ia menekankan, PSU Papua adalah ujian bagi MK untuk menafsirkan kewenangan secara lebih luas demi menegakkan demokrasi yang adil.
Sementara itu, Dr. Zainal Arifin Mochtar menilai pembuktian kecurangan TSM tidak sederhana. Hal itu mencakup struktur organisasi, rantai komando pasangan calon, hingga keterlibatan aparat negara. Dugaan adanya intimidasi dan manipulasi di tingkat kabupaten maupun kota pada PSU Papua memperlihatkan kompleksitas yang perlu diurai MK.
Kandidat Doktor Ilmu Hukum University of Washington, Bivitri Susanti, menambahkan, meski sulit dibuktikan, dugaan kecurangan tetap harus diuji di Mahkamah. Selisih signifikan antara C-1 Plano dan D-1 merupakan indikasi kuat adanya masalah serius yang menyangkut legitimasi hasil pemilu.
Senada dengan itu, Dr. Feri Amsari dari Universitas Andalas mengingatkan bahaya jika MK hanya terpaku pada angka hasil akhir. Pola itu, menurutnya, justru membuka ruang manipulasi baru. Dalam PSU Papua, ia menegaskan pentingnya menjadikan C-1 Plano sebagai rujukan utama karena merepresentasikan suara rakyat sesungguhnya.
Baca juga: BTM-CK Sapu Bersih 19 Distrik di Kabupaten Jayapura, Unggul 6.295 Suara
Dengan berbagai pandangan pakar ini, jelas bahwa PSU Papua bukan sekadar soal hitung-hitungan angka. MK diharapkan berdiri tegak menilai substansi, demi memastikan integritas demokrasi tetap terjaga.
Redaksi: SAIRERI WATCH AND JUSTICE
Laporan: Sony Rum