
Foto: istimewa | Screenshot daring, Suasana Sidang Mahkamah Konstitusi PHPU Gubernur Papua, Selasa (2/9).
Jakarta, Jurnal Mamberamo Foja – Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua nomor urut 1, Benhur Tomi Mano–Constant Karma, mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pasca pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilgub Papua.
Permohonan itu diajukan berdasarkan Putusan MK Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025 yang sebelumnya memerintahkan PSU di sejumlah daerah. Namun, dalam pelaksanaan PSU pada 6 Agustus 2025, pihak Benhur–Constant menilai ada banyak kejanggalan, terutama tingkat partisipasi pemilih yang justru melampaui angka 100 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT).
“Ada TPS dengan jumlah pemilih yang datang mencoblos melebihi DPT. Kasus ini tersebar di 62 TPS di beberapa kabupaten dan kota,” tegas kuasa hukum Pemohon, Hardian Tuasamu, dalam sidang pendahuluan yang digelar daring di MK pada Selasa (2/9).
Selisih Tipis, Suara Diduga Bermasalah
KPU Papua menetapkan hasil penghitungan suara pasca-PSU: Paslon 01 memperoleh 255.683 suara, sementara Paslon 02, Matius Fakhiri–Aryoko Alberto Ferdinand Rumaropen, meraih 259.817 suara. Selisihnya hanya 4.134 suara atau 0,8 persen, jauh di bawah ambang batas perselisihan hasil yang ditentukan MK yakni 2 persen dari total suara sah.
Baca juga: Victor Buefar: PSU Papua Jadi Pelajaran, Saatnya Bersatu Dukung Gubernur Terpilih
Namun menurut Pemohon, jika partisipasi pemilih yang dianggap bermasalah dihapus, hasil seharusnya berbeda. Benhur–Constant mengklaim mestinya mengantongi 246.418 suara, unggul tipis atas Fakhiri–Aryoko yang semestinya hanya meraih 245.528 suara.
TPS bermasalah itu tersebar di delapan daerah: 2 TPS di Kabupaten Jayapura, 7 TPS di Kepulauan Yapen, 2 TPS di Biak, 3 TPS di Sarmi, 2 TPS di Supiori, 25 TPS di Keerom, 1 TPS di Waropen, serta 20 TPS di Kota Jayapura.
Pemohon menilai kondisi ini melanggar Putusan MK yang menegaskan DPT PSU harus sama dengan DPT pada Pemilu serentak 27 November 2024, sehingga tidak dibenarkan adanya penambahan pemilih baru saat PSU.
Tudingan Intervensi dan Ketidaknetralan
Selain soal DPT, pihak Benhur–Constant juga menuding adanya intervensi politik dari sejumlah pejabat negara maupun daerah. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang juga Ketua Umum Partai Golkar disebut terlalu sering melakukan kunjungan kerja ke Papua, yang ditengarai untuk menguntungkan Paslon 02.
Baca juga: MK Diminta Tegakkan Keadilan Substantif dalam PSU Papua, Bukan Sekadar Hitung Suara
Penjabat Gubernur Papua Agus Fatoni juga dituding melakukan kegiatan yang bernuansa politik, di antaranya dalam sebuah acara di Yayasan Hikmah Al Bunayyah, Kota Jayapura.
Tak hanya itu, Bupati Keerom Piter Gusbager dituding menggunakan jabatannya untuk menggerakkan kepala kampung memenangkan Paslon 02. Bahkan, Pemohon menuduh ada aparat kepolisian yang bersikap tidak netral dengan melakukan intimidasi terhadap penyelenggara pemilu, mulai dari KPPS hingga Bawaslu di tingkat kabupaten/kota, demi mengubah hasil rekapitulasi suara di formulir C.Hasil maupun D.Hasil.
Permintaan di MK
Dalam petitumnya, Benhur–Constant meminta MK membatalkan Keputusan KPU Papua Nomor 640 Tahun 2025 tentang penetapan hasil Pilgub Papua yang diumumkan pada 20 Agustus 2025. Mereka mendesak agar perolehan suara di 92 TPS yang dianggap bermasalah dianulir dan hasil Pilgub Papua ditetapkan ulang sesuai dalil mereka.
Persidangan dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan Ridwan Mansyur. Agenda lanjutan akan digelar pada Kamis, 4 September 2025, dengan mendengarkan jawaban KPU selaku Termohon, keterangan Bawaslu, serta pihak terkait, yakni Paslon 02 Fakhiri–Aryoko. Sidang dijadwalkan berlangsung secara daring mulai pukul 08.00 WIB.
Laporan: Roy | rilis humas MK