Foto: istimewa | Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, Karo Penmas Div Humas, Mabes Polri.

Jakarta, jurnalmamberamofoja.com – Langkah Polri menarik Irjen Pol. Raden Prabowo Argo Yuwono dari proses orientasi jabatan di Kementerian UMKM mendapat apresiasi publik sebagai respons cepat terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU/XXIII/2025.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko menyatakan penarikan tersebut merupakan bentuk komitmen institusi kepolisian menegakkan kepatuhan terhadap hukum. Selain itu, Polri juga membentuk Kelompok Kerja (Pokja) untuk memastikan implementasi putusan MK tidak menimbulkan multitafsir.
Namun, langkah tersebut belum meredakan sorotan publik sepenuhnya. Banyak pihak menilai penarikan Irjen Argo tidak cukup apabila tidak dibarengi evaluasi menyeluruh atas penempatan perwira tinggi (Pati) dan perwira menengah (Pamen) aktif Polri yang masih menduduki jabatan strategis di kementerian dan lembaga negara.
Baca juga: Operasi Zebra Cartenz Dimulai, Polres Jayapura Tegaskan Keselamatan Jadi Prioritas
Selama struktur tersebut belum diperbaiki, keputusan penarikan satu nama dianggap sekadar tindakan simbolis. “Publik ingin melihat reformasi nyata, bukan kosmetik hukum,” ujar sejumlah pengamat yang menilai keputusan itu masih jauh dari harapan perubahan sistemik.
Masyarakat menunggu tindak lanjut berupa penarikan nama-nama lain, audit total penempatan personel aktif di jabatan sipil, dan jaminan bahwa praktik serupa tidak kembali diterapkan dengan alasan kebutuhan institusional.

Mahfud MD: Tidak Ada Lagi Celah Hukum
Anggota Tim Reformasi Polri yang juga mantan Ketua MK, Prof. Mahfud MD, menegaskan seluruh aturan turunan seperti PP Nomor 17/2020 otomatis gugur setelah keluarnya putusan MK. Tidak ada lagi dasar hukum yang bisa dipakai untuk mempertahankan polisi aktif di jabatan sipil.
Mahfud menolak adanya ruang kompromi, termasuk opsi teknis seperti “izin Kapolri” atau mekanisme penugasan internal. “Setelah MK memutus, tidak ada jalan tengah. Semua aturan yang bertentangan harus dianggap tidak berlaku,” tegasnya.
Ia juga memperjelas batas kewenangan: Polri hanya boleh hadir di ruang publik sipil dalam fungsi pengamanan, bukan menduduki jabatan struktural seperti Direktur, Dirjen, Staf Ahli, Sekjen maupun jabatan strategis lainnya.
Mahfud menilai putusan MK bukan bentuk pembatasan, melainkan upaya menjaga marwah konstitusi dan mencegah tumpang tindih kewenangan antar-lembaga negara.
“Ketertiban hukum adalah fondasi demokrasi. Publik kini memahami bahwa persoalan ini bukan hanya soal Polri, tapi soal menegakkan konstitusi secara penuh,” ujarnya.
Laporan: Roy








