Foto: istimewa | dr. Silwanus Sumule, SpOG (K)., MH.Kes

Oleh: dr. Silwanus Soemoele, SpOG (K) MH. Kes
Jayapura, jurnalmamberamofoja.com — Tragedi kematian seorang ibu dan bayi dalam kandungannya di Papua pekan ini bukan sekadar kabar duka. Ia adalah tamparan keras bagi sistem kesehatan yang selama ini dipuji di atas kertas, namun rapuh dalam kenyataan.
Pasien datang dalam keadaan gawat darurat. Rumah sakit pertama tidak siap. Rumah sakit kedua penuh. Rumah sakit ketiga terhambat prosedur administrasi. Pada akhirnya, nyawa yang seharusnya diselamatkan justru hilang di tengah birokrasi dingin yang tak mengenal belas kasih.
Ini bukan cerita baru. Ini hanya satu dari rangkaian panjang tragedi yang terus berulang, dari ruang tunggu IGD hingga meja operasi yang tak pernah tersedia tepat waktu. Kita sedang menyaksikan bagaimana sistem kesehatan di Papua gagal menjalankan tugasnya yang paling mendasar: menyelamatkan nyawa.

Tenaga Kesehatan Berjuang di Medan yang Rusak
Kemarahan publik seringkali diarahkan kepada dokter dan perawat. Padahal banyak dari mereka bekerja melampaui batas kemampuan manusia, di fasilitas yang minim, dengan insentif yang sering tidak dibayarkan tepat waktu. Mereka dituntut tampil heroik di atas fondasi yang retak dan hampir runtuh.
Bagaimana mungkin mereka diminta berlari lebih cepat, ketika lintasan sendiri penuh lubang?
Kita tidak bisa terus menyalahkan individu. Masalah terbesar ada pada sistem yang membiarkan kesalahan kecil menumpuk menjadi bencana besar.
Baca juga: Ketika Nama dan Marga Menjadi Tiket Berobat: Kisah Lahirnya Kartu Papua Sehat
Ketika Uang Rumah Sakit Setara Dengan Nyawa
Kita harus berhenti berpura-pura bahwa persoalan ini hanya soal teknis. Kelemahan manajemen keuangan rumah sakit, keterlambatan pencairan BPJS, hingga praktik korupsi yang membajak anggaran kesehatan adalah pembunuh sunyi yang jarang terekspos kamera.
Setiap rupiah yang hilang dari anggaran pelayanan kesehatan berarti: obat yang tidak terbeli, ambulans yang datang terlambat, dan harapan hidup yang terputus.
Mencuri uang rumah sakit berarti mencabut alat bantu napas dari pasien yang berjuang bertahan hidup.

Perubahan Bukan Slogan
Seruan yang disampaikan dr. Silwanus Adrian Soemoele, SpOG (K)., MH.Kes harus menjadi alarm bagi para pemimpin dan pembuat kebijakan di Papua. Rujukan pasien gawat darurat tidak boleh berbelit. Kapasitas ruang rawat tidak boleh dibiarkan stagnan. Sistem harus bergerak secepat detak jantung yang sedang dipertaruhkan.
“Nyawa ibu tidak boleh menunggu,” tegas dr. Sil. Dan kita semua tahu, waktu tidak pernah menunggu siapa pun.
Baca juga: Kasus Irene Sokoy, BM PAN Papua Desak Evaluasi Total RS di Papua
Saatnya Berhenti Berduka, Mulailah Bertindak
Tragedi ini harus menjadi titik balik. Tidak ada lagi ruang untuk pembenaran, apalagi retorika. Pemerintah daerah, manajemen rumah sakit, BPJS, dan para pemangku kebijakan harus duduk satu meja dan menyusun langkah penyelamatan yang nyata.
Kita tidak boleh menormalkan kematian yang sebenarnya bisa dicegah. Jika hari ini kita diam, besok akan ada nama lain, wajah lain, keluarga lain yang berduka.
Dan pada saat itu terjadi, kita semua ikut bertanggung jawab.
Laporan: Sony Rumainum







