
Foto: istimewa | Gubernur Papua Matius Fakhiri, S.IK., dan Wagub Aryoko Rumaropen, SP., M.Eng.
Jakarta, jurnalmamberamofoja.com – Rabu, 8 Oktober 2025 menjadi tanggal yang akan dikenang dalam sejarah Papua. Di hari itu, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, secara resmi melantik Komjen Pol (Purn) Matius Derek Fakhiri dan Aryoko Rumaropen sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Papua definitif.
Sebuah momentum bersejarah yang tidak sekadar menandai pergantian kepemimpinan, tetapi juga menyalakan kembali api persatuan dan harapan baru bagi seluruh rakyat Papua.
Pelantikan ini bukanlah akhir dari proses politik yang panjang, melainkan awal perjalanan baru untuk menyatukan Papua tanpa sekat.
Setelah dinamika dan ketegangan politik dalam Pilkada serta Pemungutan Suara Ulang (PSU) usai, kini tiba waktunya bagi seluruh elemen masyarakat dari Tabi hingga Saireri, dari pegunungan hingga pesisir untuk menatap satu arah: membangun Papua yang inklusif, berkeadilan, dan bermartabat.
Seperti kata filsuf Yunani Aristoteles, “Negara yang baik adalah negara yang warganya mampu menundukkan kepentingan pribadi demi kebaikan bersama.” Kalimat ini menjadi panggilan moral bagi kita semua, agar meninggalkan ego sektoral dan menumbuhkan semangat kolektif demi kesejahteraan Tanah Papua.
Baca juga: Pelantikan Gubernur Papua: Momentum Persatuan dan Babak Baru Pembangunan
Simbol Rekonsiliasi dan Awal Kepemimpinan Visioner
Pelantikan pasangan MDF-AR memancarkan simbol rekonsiliasi politik dan pemulihan sosial. Gubernur dan Wakil Gubernur definitif membawa amanat besar: menata tata kelola pemerintahan yang bersih, memperkuat pembangunan sumber daya manusia, serta memastikan pengelolaan sumber daya alam berjalan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir pihak.
Namun, kesuksesan visi tersebut tidak hanya bergantung pada kepemimpinan dua sosok di puncak pemerintahan. Partisipasi rakyat Papua menjadi fondasi utama.
Masyarakat harus turut menjadi subjek, bukan sekadar objek pembangunan rakyat yang berpikir kritis, bekerja dengan tulus, dan menyadari bahwa perubahan sejati dimulai dari dirinya sendiri.
Tanda-tanda awal dari komitmen kepemimpinan MDF-AR telah tampak. Beberapa hari pascapelantikan, keduanya langsung melakukan kunjungan kerja ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Jakarta.
Langkah cepat ini menunjukkan keseriusan mereka dalam membangun sinergi strategis dengan pemerintah pusat, khususnya dalam percepatan pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, air bersih, dan perumahan rakyat pilar-pilar utama kesejahteraan masyarakat Papua.
Kunjungan itu bukan sekadar seremonial, melainkan perwujudan nyata dari kepemimpinan yang visioner dan pro-rakyat. Sebuah pesan kuat bahwa pembangunan Papua harus dimulai hari ini, bukan menunggu esok.

Generasi Muda dan Tanggung Jawab Sejarah
Di tengah arus perubahan yang deras, generasi muda Papua baik milenial maupun Gen Z memegang peran strategis. Mereka tidak boleh hanya menjadi penonton di panggung pembangunan.
Saatnya beralih dari sekadar pengguna media sosial menjadi pelaku perubahan di lapangan: dalam teknologi, pendidikan, ekonomi kreatif, dan tata kelola sosial.
Papua akan maju apabila generasi mudanya berpikir global, namun tetap berpijak kuat pada akar budaya lokal dan spiritualitas kasih. Seperti pesan yang kerap diucapkan oleh Matius Fakhiri dan Aryoko Rumaropen, “Kasih yang tulus menembus perbedaan.”
Kalimat ini bukan sekadar slogan, tetapi fondasi moral untuk membangun Papua yang damai dan menyatukan berbagai perbedaan etnis, agama, dan pandangan politik dalam satu rumah besar: Tanah Papua.
Papua Dewasa dalam Politik, Kini Saatnya Dewasa dalam Pembangunan
Pelantikan MDF-AR adalah refleksi bahwa Papua telah dewasa secara politik mampu menyelesaikan perbedaan melalui proses demokrasi yang sah dan bermartabat.
Kini, tugas bersama adalah membawa kedewasaan itu ke ranah pembangunan nyata: menciptakan lapangan kerja, memperkuat pendidikan, mengurangi kesenjangan wilayah, dan menumbuhkan ekonomi berbasis potensi lokal.
Karena pada akhirnya, keberhasilan pemerintahan tidak hanya diukur dari kebijakan para pemimpin, melainkan dari kesediaan rakyatnya untuk bersatu dan bekerja bersama dalam satu visi yang sama.
Seperti pesan filsuf Romawi Seneca, “Kita tidak bisa memilih arah angin, tetapi kita bisa mengatur layar agar kapal ini tetap menuju pelabuhan harapan.”
Pelabuhan itu adalah Papua yang damai, maju, dan penuh kasih bagi setiap anak negeri tempat di mana perbedaan bukan lagi alasan untuk terpisah, melainkan kekuatan untuk berdiri tegak sebagai satu kesatuan: Papua Tanah Damai.
Laporan: Roy Hamadi
Penulis Opini: Victor Buefar (Pemerhati Politik)